Suatu ketika dosen mata kuliah Interaksi Manusia dan Komputer saya meminta agar murid nya mengerjakan tugas untuk membuat antar muka (user interface) sebuah mesin minuman praktis (entah apa namanya di indonesia, tetapi bahasa inggrisnya adalah Vending Machine). 
Tentu saya sangat bersemangat, karena dosen tersebut tidak mewajibkan interface di interpretasikan ke dalam program, hanya desain saja.
Dengan bersemangat, saya yang memang sejak lama menekuni desain grafis dan familiar dengan software seperti Adobe Photoshop dan Illustrator. Tetapi, saya tidak punya ide sama sekali untuk konsep dasarnya, kemudian saya googling dan bertemu lah dengan Acure Vending Machine. Kemudian saya langsung tertarik dengan desainnya yang menarik dan mengeksekusinya dengan photoshop dan illustrator. Mesin dari jepang ini (Tentu untuk mencari eksplorasi yang 'unik' jepang adalah pilihannya, terlebih di bidang teknologi) adalah sebuah mesin minuman dengan user interface yang menarik dan teknologi pengenalan wajah yang sangat keren.









Singkatnya saya langsung presentasi kan. Memang desain yang saya buat keren, tetapi ternyata tidak berjalan dengan baik. ada beberapa kekurangan yang menurut dosen saya sangat vital dalam user interface.  Tidak ada dialog-dialog pembantu dan sangat minim interaksi dengan pengguna.
Ketika presentasi dan sesaat sesudah nya saya memang agak tidak terima. Karena memang saya tau teteapi saya mengabaikannya dengan menggap sudah baik karena berdasarkan mesin yang memang sudah ada. Saya pikir saya adalah Steve Jobs yang menciptakan Apple dan dosen saya terlalu Bill Gates. Teman saya yang tidak optimis karena desain nya yang sederhana rupannya memiliki penilaian yang sempurna (Flawless). Tidak ada kurangnya, tidak ada cacatnya.
Kemudian saya perhatikan teman saya ini membuat tugas dengan refrensi yang minim tetapi menikmati dan serius mengerjakan nya.
Saya sangat kurang itu.
Saya sadar saya bukan Steve Jobs.
Saya terlalu bertumpu pada sesuatu.
Keangkuhan saya membuat saya kehilangan kendali dan kreatifitas ciptaan saya.
Saya baru tahu, percaya atau tidak perusahaan sebesar Apple sangat menjunjung tinggi inovasi dan kreativitas. Pegawainya sangat tertutup oleh demand dari para pengguna dan tidak memiliki panutan atau target inovasi harus jadi seperti apa. Jadi kreatifitas akan terus berjalan. Esensi yang memang kadang sulit tetapi jika didorong terus dan diiringi kerja keras akan menjadi manis.
Dan saya percaya bahwa memang kreatifitas seharusnya Buta.
Buta terhadap hal yang ada membuat kita mempelajari situasi bukan hanya dari melihat, tetapi merasakan.
Stereotipe.
Indonesia adalah salah satu negara dengan keberagaman budaya yg banyak diantara negara lain di dunia ini.
Keberagaman tersebut tidak hanya mencerminkan persatuan yang selama ini kita tekankan dan gembor gemborkan.
Sering kali suatu sikap individu mewakili setiap kelompok. Terjadi kebingungan bersikap ketika menemui sebuah sudut pandang baru. Bagaimana kita bisa bangga terhadap punya kita sendiri tetapi tetap bersatu dengan yang lain adalah salah satu hal yang sulit dilakukan.
Sudut pandang pun akhirnya terbentuk dari fakta yang seadanya.
Pandangan sosial bertolak belakang dengan sudut pandang ilmu pasti. Tidak relevan jika memastikan sesuatu yang tidak pasti.
Oleh sebab itu, manusia adalah bagaimana kita mengenalnya. Bukan melihatnya atau bahkan melihat orang lain yang berkaitan dengan dia.
Mengapa tidak menikmati setiap proses sosial yang terjadi daripada membatasi diri karena ketakutan akan stereotipe?
Sajak fiksi ilmiah seperti 'Orang selalu takut terhadap apa yang mereka tidak tahu' pun adalah benar adanya bukan fiksi ilmiah semata,
Maka jangan mau mengikuti hal yang bahkan kita tidak tahu. Tetapi juga jangan tidak mengikuti hal yang kita tidak tahu. Karena mengetahui dan mengenal adalah elemen terpenting dalam sosial.
Sebanyak apapun agama agama melarang tentang membenci, selalu ada manusia yang menentang larangan ini.
Karena jauh lebih baik mengerti daripada diperkosa asumsi.
Tatanan sosial di indonesia adalah sebuah korelasi budaya dan agama.
Bertahun-tahun masyarakat mengutamakan budaya menjadi sumber ideologi sebuah sosial.
Sosial sendiri bukanlah bidang yang saya kuasai, tetapi kurang lebih hidup 20 tahun di bumi Indonesia cukup banyak menimbulkan sebuah pengamatan yang cukup jelas terlihat.

Masalah dari sebuah konflik adalah ketidakberdayaannya sosial menjadi alat komunikasi yang bisa meluruskan persilangan pendapat.
Sebetulnya Relevansi adalah kunci perkembangan sosial di masyarakat.
Ketika budaya sudah tidak relevan dengan zaman nya, maka tatanan pun otomatis baiknya diubah.
Peradaban adalah kunci dari tatanan sosial yang sempurna. Bagaimana kita memandang manusia lain dengan logika dan  akal sehat. Ketika budaya sudah melanggar batas peradaban, sudah saatnya lah budaya tersebut menjadi seni yang bagus untuk dikenang, bukan lagi untuk diwariskan. Seleksi ini lah yang bertahun-tahun dilakukan para pendahulu dan penemu.

Tolak ukur budaya seakan menjadi harga mati di sini. Budaya memang adalah identitas, tapi identitas tidak akan kita pakai dalam segala hal.
Sesuatu yang melenceng terhadap budaya menjadi hal yang tabu, padahal negeri ini pun dibangun atas dasar persatuan dan perbedaan. Bukan maksudnya menjadi satu atau menyamaratakan tetapi harusnya bisa menjadi acuan bahwa perbedaan adalah hal yang harus dihadapi bukannya di hindari.

Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home